Tahu tidak?
Salah satu hal menantang dalam bercerita melalui tulisan ialah mengingat kembali kronologi hal yang ingin diceritakan dan memastikan hal tersebut benar, karena nantinya akan ada orang lain yang membaca. Mengingat saat ingin melakukan umrah pernah bingung akan aktivitas di Madinah dan Makkah, maka dengan segenap semangat saya coba melanjutkan jurnal umrah ini. CIAT! Bismillah!
Agar lebih jelas mengenai cerita umrah, saya sarankan baca jurnal umrah saya sebelumnya ya disini.
(Masih di hari yang sama yaitu Kamis, 18 Februari 2016)
Setelah shalat subuh di Masjid Nabawi, saya mendapat beberapa pengarahan dari pihak Gardi Tour.
- Jadwal Makan: Makan pagi setelah shalat subuh, makan siang setelah shalat dzuhur, makan malam setelah shalat isya. Jadwal ini sama untuk semua jamaah umrah dari biro perjalanan apapun.
- Pastikan untuk bersama dengan teman sekamar, setidaknya berdua/bertiga saat ingin pergi keluar dari kamar. Katanya sih laki-laki Arab ‘haus wanita,’ hem kayak vampir jenis baru kali yha. Katanya juga sih menikahi wanita Arab itu mahal, maharnya satu unta gitu, makanya mereka ‘haus wanita,’ nyambung nggak sih korelasinya? Duh akika juga sebagai yang nulis bingung juga nich.
- Pastikan selalu memakai tanda pengenal yang diberikan.
Setelah makan pagi, saya kembali ke kamar untuk mandi dan istirahat sebentar, ya sejenis tidur-tiduran cantik melepas lelah tapi tidak tidur layaknya malam hari. Saya, Mama, Tante saya, dan Mami (teman sekamar saya yang usianya sudah seperti nenek saya) sepakat untuk segera ke Masjid Nabawi setelah membersihkan diri masing-masing. Hotel yang saya tempati dekat dengan Gate 17 Masjid Nabawi.
Aktivitas di Masjid Nabawi hingga Shalat Dzuhur
Setelah berjalan kaki sampai ke dekat pintu masuk Masjid Nabawi. Saya dan Tante saya agak berbeda pendapat mengenai tempat menaruh sandal.
Saya: Taruh sandal di rak yang disediakan saja, simpel dan praktis.
Tante: Sebaiknya simpan sandal di plastik yang sudah dibawa, lebih aman.
Saya: Tega sekali kalau di Masjid ada yang mencuri.
Ya pengalaman saya yang sepatunya pernah dicuri saat di Mushalla fakultas tidak membuat saya ingin menyimpan sandal di plastik, gimana ya, kalau ditaruh di rak ya asik aja gitu, praktis. Akhirnya saya menaruh sandal di rak, Mami juga melakukan hal yang sama. Ohiya, tidak lupa tentu kami berfoto di depan pintu masuk Masjid Nabawi yang megah dan di pelataran Masjid.
Setelah melakukan shalat dhuha, saya mengambil air zam-zam (yang original, bukan crispy #apasih, inget kan cerita Jurnal Umrah 1 kalau air zam-zam asli hanya di dalam Masjid Nabawi?) yang disediakan dalam wadah-wadah di area dalam Masjid Nabawi. Disarankan untuk membaca niat minum air zam-zam. Doa saya seraya meneguk air zam-zam, yang disunahkan sebanyak 3 kali, ialah agar saat umrah saya dimampukan Allah Swt agar jauh dari pikiran negatif.
Doa Nabi Saw saat meminum air zam-zam:
Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’a wa rizqon waasi’an wa syifa’an min kulli daa-in
“Ya Allah aku memohon pada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizqi yang luas, dan kesembuhan dari segala macam penyakit“.
Sumber, dari sini.
Setelah minum air zam-zam, saya galau. Hem, ya galau agak bingung gimana gitu. Begini ya, kalau sehari-hari saya bangun pagi, pergi ke kampus hingga siang, masuk kelas lagi, lalu rapat organisasi. Nah sekarang, waktu saya sangat lapang untuk beribadah. Saya jadi grogi mau ibadah apa, hihi. Walaupun internet handphone saya masih berfungsi, opsi bercengkrama dengan handphone rasanya bukan hal yang baik untuk dilakukan. Saya rasa lupakan urusan di Jakarta adalah pilihan yang tepat. Berhubung saya masih grogi di rumah Allah ini, akhirnya saya berjalan melihat-lihat area dalam masjid. Setidaknya saya menemukan beberapa hal terkait Masjid Nabawi.
- Ada area menaruh sandal di banyak tempat, sehingga tidak perlu khawatir akan menaruh sandal di sembarang tempat.
- Ada area shalat wanita yang khusus untuk wanita yang tidak membawa anak.
- Ada rak-rak berisi ratusan (berapa lapis? Ratusannnn #krik) Al-Quran.
Setelah saya sudah tidak terlalu grogi, saya ingat bahwa seharusnya dari tadi saya niatkan diri untuk i’tikaf alias berdiam diri di Masjid. Setidaknya dengan diniatkan saja, in sha Allah diam di Masjid pun akan berpahala. Saya, Mama, Tante, dan Mami akhirnya melakukan shalat sunnah masing-masing. Kami melakukan berbagai macam shalat sunnah yang kami inginkan. Setelah itu kami tilawah alias membaca Al-Quran. Dilanjutkan dengan berbincang bersama, dilanjutkan tadarus lagi. Aduh kagoknya, hidup macam apa ini? Belum pernah rasanya hidup dipenuhi Masjid begini? Ah terharu. Lalu, waktu shalat dzuhur pun datang.
Aktivitas Setelah Shalat Dzuhur hingga Shalat Isya
Setelah shalat dzuhur, saya kembali ke hotel untuk makan siang. Belum ada kegiatan dari Gardi Tour hingga nanti malam, sehingga setelah memperbarui wudhu, saya kembali ke Masjid Nabawi. Aktivitas saya ya beribadah, mulai dari shalat sunnah, membaca Al-Quran, hingga menyapa Ibu-Ibu Arab di samping saya.
- Tentang Wudhu
Menurut saya, wudhu di Masjid Nabawi menjelang shalat adalah hal yang sebaiknya dihindari. Penuhnya minta ampun. Ramainya minta ampun. Kalau belum familiar dengan Masjid Nabawi, bisa lupa loh jalan kembali ke tempat tadi duduk di area dalam masjid, hayoloh! Hihi, jadi wudhu di tempat wudhu di area Masjid Nabawi ya tidak berbahaya, hanya saja saya sarankan untuk wudhu setidaknya 40 menit sebelum waktu shalat.
SOLUSI!
Saya baru sadar hal brilian ini saat di Makkah, tapi saya ceritakan sekarang saja. Jujur saja, buang angin adalah hal yang tidak bisa dihindari. Buang angin ya tidak masalah, tapi hal tersebut membatalkan wudhu. Kalau setelah wudhu saya buang angin, saya ambil wudhu, lalu saya buang angin lagi dan saya ambil wudhu lagi, repotnya nggak kuat akika. Maka saya memilih untuk selalu membawa air minum saat shalat dan wudhu di tempat saya duduk. Cukup wudhu yang wajibnya saja dan tidak perlu dibasuh tiga kali. Tenang, sudah saya pastikan hal tersebut diperbolehkan dengan bertanya ke Ustadz Fathur selaku Muthawwif (Hem, Muthawwif apa ya, saya lupa). Caranya mudah sekali, ketik REG spasi Wudhu. Hehe maaf candaa kok. Untuk wudhu yang lebih memudahkan, bisa lakukan hal berikut ini.
- Basuh tangan sampai siku.
- Basuh seluruh wajah.
- Basuh ubun-ubun.
- Basuk kaki sampai mata-kaki.
Ohiya basuh dengan air secukupnya saja, tidak perlu berlebihan, tidak perlu sampai airnya tumpah ke karpet shalat. Kalau airnya tumpah sedikit atau setetes-tetes masih wajarlah.
- Tentang Shalat Ghaib
Setelah shalat wajib, biasanya tidak lama dilanjutnya dengan shalat ghaib. Silahkan klik ini dan ini, untuk tahu lebih lanjut mengenai shalat ghaib.
- Tentang Anak Kecil yang Dibawa Ibunya Shalat
Entah kenapa kalau di Indonesia, rasanya melihat anak kecil teriak-teriak di area shalat kadang membuat kesal. Alhamdulillah, saya tidak merasakan hal yang sama lagi. Jadi tuh ya, di area shalat wanita yang umum, banyak sekali Ibu yang membawa anaknya. Anak-anak kecil ada yang duduk manis, ada yang merengek, ada yang menangis, ada yang teriak-teriak senang, ada yang lari kesana-kemari. Wah salut dengan kesabaran para Ibu. Rata-Rata Arabian mom yang saya lihat sepertinya sangat pengertian terhadap anaknya, tidak marah saat anaknya menangis atau merengek saat si Ibu shalat. Hem, tidak mudah mendeskripsikan sabarnya mereka, bagaimana kalau kamu lihat sendiri disini? Hihi.
Aktivitas Setelah Shalat Isya hingga Larut Malam.
Setelah shalat isya, saya kembali ke hotel untuk makan malam. Setelah keluar Gate 17, biasanya ada semacam ‘pasar kecil’ dekat Gate 17 Masjid Nabawi. Orang-Orang Arab menggelar dagangannya dengan tikar atau gerobak. Lalu tidak perlu heran saat kamu, jamaah Indonesia, diteriaki “Sini, sini, murah, murah.” Beberapa hal yang bisa dibeli di ‘pasar kecil’ ini ialah.
- Coklat
- Kerudung pashmina
- Kismis, kurma
- Pakaian: Abaya hitam, gamis untuk laki-laki
Mama pernah membeli kismis, saat membeli ya menggunakan Bahasa Indonesia, pun saat menawar harga. Sayangnya kadang Mas-Mas Arab penjual belum bisa melakukan penghitungan dalam angka Indonesia. Jadi si Mas Arab Penjual Kismis bisa bilang harganya dua puluh per kilo, tapi nanti Mas Arab Penjual Kismis akan bingung jika dua puluh per kilo nya ada tiga, ditambah yang harganya lima belas, lalu diminta diskon lima riyal. Kasihan deh, ya in sha Allah semua pembeli Mas dan Mbak Arab Penjual apapun akan jujur lah ya 🙂
Ohiya, menurut saya kalau di Korea Selatan gaya berbusana perempuan dan laki-lakinya terasa menarik, sama hal nya dengan disini. Terlebih melihat laki-laki disini secara fashion, rasanya lucu sekaligus menarik. Baik laki-laki Arab maupun jamaah Indonesia, banyak yang memakai gamis. Aduh lucu deh, gayanya itu loh, beda banget. Banyak sih laki-laki pakai celana, tapi yang pakai gamis juga banyak. Terus pakai gamis membuat aura para laki-laki berbeda, lebih berkharisma, lebih…….Arabian edition #lah.
Sekitar pukul setengah sepuluh malam, barulah saya mengikuti kegiatan yang dijadwalkan untuk hari ini. By the way, tulisan akika udah panjang beut, jangan bosen yha.
Mengunjungi makan Rasulullah Saw dan Raudhah.
Dahulu kala di Madinah, Masjid Nabawi itu tidak seluas sekarang. Luasnya hanya sekitar 30 meter dikali 35 meter, sederhana sekali. Kalau sekarang sudah megang, mungkin 5 kali luas Masjid Istiqlal. Masih dalam area Masjid Nabawi, ada makam junjungan umat muslim seluruh dunia, Nabi Muhammad Saw. Rasulullah meninggal di pangkuan istrinya, Aisyah ra, dan dikuburkan di kamar Aisyah yang berarti Rasulullah dikuburkan di rumahnya sendiri. Berhubung rumah Rasulullah dan Masjid Nabawi dekat, ada area yang di sebut Raudhah. Raudhah sendiri artinya taman-taman surga, area yang disebut Raudhah dihitung dari jarak rumah Rasulullah hingga mihrab yang biasa Rasul pakai untuk berceramah di Masjid Nabawi dahulu kala. Semua yang umrah pasti diajak ke Raudhah. Raudhah memiliki keutamaan yang bisa dibaca disini ya.
“Raudhah Hanya Diperbolehkan Pada Waktu Tertentu Untuk Perempuan”
Untuk masuk ke dalam Raudhah tidak mudah, tapi tidak sesulit benteng takeshi kok, beneran deh. Jadi awalnya kita akan diminta melepas sandal, lalu berjalan ke dalam area masjid. Disebabkan area Raudhah hanya dibuka pada waktu tertentu untuk perempuan, jelas perempuan yang ingin mengunjungi Raudhah membludak. BOOM! Bohong deng, nggak kayak bom kok #apasih.
Petualangan Menuju Raudhah
- Antrian Pertama
Setelah dekat area Raudhah, saya dan segenap rombongan diminta mengantri sambil duduk. Kami terkantuk-kantuk ria seraya tilawah.
- Antrian Kedua
Kalau tidak salah, saya menunggu sekitar 30 menit untuk kemudia mengantri lagi dengan area mengantri yang lebih dekat Raudhah. Pada antrian dengan lokasi berbeda ini, terjadi sedikit kegalauan, kadang diminta duduk, kadang diminta berdiri agar antriannya lebih maju ke depan. Nah disini semakin mendekati Raudhah, semakin penuh orang, satu perempuan dengan perempuan lain sudah saling berdempet.
- Saat dibuka Giliran Masuk Area Raudhah
Katanya Ustadzah yang menemani jamaah perempuan ke Raudhah, sebenarnya antrian memasuki Raudhah dibagi berdasarkan negara-negara. Biasanya yang dari Malaysia dan Indonesia bersama. Lalu yang dari Arab, Turki, India juga ada gilirannya. Tujuannya ya biar kita-kita orang Indonesia yang ‘kecil-kecil’ ini tidak ‘tergilas’ perempuan Arab (atau setidaknya berwajah Arab) yang biasanya tinggi dan besar. (Duh maaf kalau rasis, saya bingung bagaimana membahasakannya) Kenyataannya, tidak ada yang mau mengalah, huft apa daya akika.
Setelah pintu masuk ke area Raudhah, ya dari pintu masuk sekitar 5-10 m kemudian akan sampai Raudhah, perempuan-perempuan yang mengantri langsung berubah jadi mode jadi fast and furious. Wah langsung saling berdesakan. Saya yang melangkah kecil dan pelan, menjadi terdorong di depan. Tante saya melihat ke arah saya dan mencoba menggenggam tangan saya agar saya tidak terlepas dari rombongan. Ibu Irna (salah satu jamaah dari Gardi Tour juga) melihat ke arah belakang, khawatir anaknya diselak orang dan terdorong ke belakang. Crowded, hectic, panic. Rasanya seperti rush hour. Apalagi saya yang agaknya mengidap claustrophobia, ya semacam phobia tempat sempit . Jantung saya berdetak lebih kencang, kaget dengan keadaan yang menurut saya bar-bar. Terlebih saat saat maju ke depan, saya melihat seorang Ibu-Ibu berwajah Arab (jadi belum tentu berasal dari Arab Saudi) menggandeng tangan perempuan disampingnya dengan rapat dan erat, dan tangan satunya mendorong perempuan di depannya dengan semangat (baca:bar-bar). Ya Allah, ibadah macam apa ini? Tidak bisakah mereka lebih manusiawi, kalau ada yang jatuh bagaimana? Tapi ya sepertinya kejadian macam itu sudah menjadi hal umum.
Area Raudhah ditandai dengan karpet hijau, sungguh waktu yang mustajab untuk berdoa disertai shalat sunah. Saya masih berdiri diam, sudah terlepas dari rombongan, dengan kanan dan kiri berdesakan orang. Seorang anak perempuan shalat di depan saya, Ibu si anak ada disampingnya menjaga anak perempuannya agar shalatnya tidak terhalang orang yang berdesakan. Saat si anak perempuan sujud pun, sudah meringkuk dikarenakan area shalat satu orang sungguh terbatas. Saya masih diam di tempat, bingung akan desak-desakan dan kebrutalan dalam beribadah ini. Sungguh saya deg-deg-an terjepit diantara perempuan-perempuan berbadan besar. Mencoba bertahan agar tidak jatuh, tidak limpung ke arah kanan ataupun kiri. Belum saya merapalkan doa, mata saya melihat tanda exit dan arah keluar Raudhah. Fine, ibadah macam apa ini? Saya lebih baik keluar dari Raudhah. Lalu saya keluar sendiri dan menunggu jamaah perempuan Gardi Tour selesai berdoa.
Ya, sekiranya segitu dulu kelanjutan jurnal umrah saya. Mohon maaf bila ada kata-ata yang tidak berkenan untuk dibaca, sesungguhnya saya tidak berniat buruk apapun. Petulangan saya di Madinah dan Makkah beserta hikmah-hikmah yang saya dapat akan saya ceritakan lagi nanti ya 🙂